Dua-duanya, memang sedikit berbeda, khususnya dalam praktek. Banyak diantara kita akan cenderung memilih “hidup bahagia”. Untuk itu kita berusaha gimana caranya bisa hidup bahagia. Kalaupun tak bisa mendefinisikan apa itu bahagia dalam arti hakiki, paling tidak umumnya kita akan berusaha mati-matian untuk menghindari “hidup menderita”.
Sebenarnya apa itu bahagia??? Apakah ketika hati gembira itu adalah pertanda kita bahagia? Apakah ukurannya memang “perasaan hati”? Ketika kekayaan kita bertambah, kita senang sekali. Itukah bahagia? Ketika kita dipuji, kita pun merasa “berharga”. Itukah bahagia?
a apa ini? Apakah ini pertanda “manisnya iman” sudah tercerabut dari hati kita? Saya jadi ingat salah satu tanda azab Allah kepada kita adalah dicabutnya perasaan “manisnya iman” saat kita beribadah kepada-Nya.
mari kita baca kisah-kisah para nabi dan para sahabat nabi. Bisa dibilang hidup mereka habis oleh berbagai penderitaan, paling tidak dalam ukuran penderitaan jasmani. Peperangan dan fitnah senantiasa terjadi sepanjang hidup mereka. Bila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, kita akan mengatakan “mereka tidak bahagia”.
Betulkah demikian? Ternyata sekalipun secara jasmani mereka menderita, namun secara ruhani, jiwa mereka justru selalu diliputi kebahagiaan tiada tara . Ruhaninya terhubung dengan Allah SWT. Kebahagiaan mereka hanyalah tatkala mereka mampu senantiasa bersyukur kepada-Nya dan senantiasa ikhlas menjalani setiap detik kehidupannya.
Memang berbeda dengan pencarian kebahagiaan kita. Mungkin memang ukuran kebahagiaan kita yang sudah salah. Kita mengukurnya dengan neraca biologis jasmani kita. Kepuasan perut kita, kesenangan farji kita, kebanggaan diri kita, pengakuan orang lain, hidup dalam kemewahan, hedonisme, dsb. Padahal ‘kan seharusnya adalah keridhaan Allah terhadap perbuatan dan pertumbuhan diri kita. Sehingga fokus kebahagiaan kita hanyalah ketika kita merasa benar-benar “bergerak semakin dekat kepada-Nya”? Itu artinya kebahagiaan kita berada dalam koridor “perjalanan ruhani kita
Perjalanan pertumbuhan ruhani kita, agaknya banyak terkait dengan pertumbuhan pengetahuan kita, pertumbuhan amal shalih kita, pertumbuhan ibadah kita.
Jika begitu, kembali ke pertanyaan awal tulisan kita tadi, hidup seperti apa yang kita pilih? Saya cenderung pada pilihan “hidup yang berguna”. Dan saya yakin, jika saya fokus pada jalan itu, saya pun pasti akan “hidup bahagia”.
Menurut anda bagaimana?
0 comments:
Post a Comment