Friday, May 22, 2009

Kedudukan Etika dalam Pandangan Ulama Salaf

Telah banyak diriwayatkan pekataan para ulama salaf yang memuji dan menyanjung etika dan orang-orang yang beretika, serta anjran mereka untuk berpegang teguh pada etika. Diantaranya adalah, dialog Habib al-Jallab dengan Ibnu al-Mubarak, “Akal yang bagus”. Habib lalu bertanya, Jika tidak?’ Dia berkata,, “Etika yang baikk.” Habib bertanya lagi, “jika tidak?” Dia berkata, “Saudara yang penyayang yang selalu menasihatinya”. Habib terus bertanya, “Jika tidak?” Dia menjawab, “Diam(tidak berbicara)”. Habib melanjutkan, “Jika tidak?” Dia menjawab, “Kematian yang disegerakan”.[1] Imam Syafi’I berkata, “barang siapa yang ingin dibuka hatinya oleh Allah – atau diberi cahaya – maka hendaklah dia berkhalwat (menyendiri dalam ibadah), mengurangi makan, tidak bergaul dengan orang-orang bodoh, dan membenci ulama yang obyektif dan tidak beretika”.[2]

Ibnu Sirin berkata, “Dahulu, mereka (ulama salaf) mempelajari etika perilaku ssebagaimana mereka mempelajari ilmu pengetahuan”.[3]

Al-Hasan berkata, “Dahulu, seorang pergi setiap dua tahun sekali untuk menjadikan dirinya beretika.”[4]

Habib bin asy-Syahid berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, bergaullah dengan ahli fiqih dan para ulama, dan pelajari etika dari mereka. Sesungguhnya hal itu lebih aku sukai daripada banyak bicara.”[5]

Beberapa orang zaman dahulu berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, jika engkau mempelajari satu bab tentang masalah etika, itu lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab ilmu pengetahuan yang lainnya.”[6]

Seseorang pernah bertanya kepada Imam Syafi’i “Seberapa besar tekadmu untuk mendapatkan etika?” Dia Menjawab, “Aku mendengarkan setiap huruf yang aku dengar, seakan aku belum pernah mendenngarnya, sehingga seluruh anggota badan ku berharap, seandainya ia mempunyai pendengaran untuk ikut menikmati apa yang aku dengarkan”. Dia Tanya lagi, “Bagaimana engkau mencarinya?” Dia menjawab, “(Aku mencarinya) seperti orang wanita yang tersesat di jalan mencari anaknya yang hilang, sedangkan anak itu adalah keluarganya satu-satunya.” [7]

Abu Bakar al-Muthawwa’I berkata, “Aku bergaul dengan Imam Ahmad bin Hanbal selama dua belas tahun. Selama itu dia membcakan kitab al-Musnad kepada anak-anaknya, tetapi aku tidak menulis satu hadits pun selama itu kecuali memperhatikan tingkah laku dan akhlaknya saja.”[8]

Adz-Dzabi berkata, “Majelis ilmu Imam Ahmad dihadiri oleh lima ribuan jamaah, lima ratus orang dari mereka menulis hadits dari Imam Ahmad, sedangkan yang lainnya sekedar memperhatikan tingkah laku, akhlak, dan etikanya saja.”[9]

Ibnu al-Mubarak berpantun, “Aku menundukkan nafsuku dan aku tidak mendapatkan kekuatan yang lebih baik daripada etika – di samping takwa – untuk menundukkan nafsuku. Aku menundukkannya dalam setiap keadaan, walaupun kadang terasa berat, karena hal itu lebih baik daripada berdiam diri terhadap suatu kebohongan atau mengunjing orang lain, karena perbuatan tersebut telah diharamkan oleh Allah swt dalam kitab-kitab-Nya. Aku berkata kepada nafsu dengan sesuka hati maupun terpaksa, “Kelemahlembutan dan ilmu adalah perhiasan orang-orang terhormat. Wahai nafsu, jika ucapanmu adalah perak, maka diammu adalah emas.”[10]

Ibnu al-Mubarak berkata, “Aku telah belajar etika selama tiga puluh tahun dan belajar ilmu pengetahuan selama dua puluh tahun. Orang-orang terdahulu belajar etika dahulu baru kemudian belajar ilmu pengetahuan”.

Al-Qarafi dalam bukunya al-Furuq menerangkan kedudukan etika, “ketahulilah bahwa, sedikit etika lebih baik daripada perbuatan yang banyak, karena itu, Ruwaim – seorang alim yang shaih - berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, jadikanlah pebuatanmu sebagai garam dan etikamu sebagai tepung gandum”’. Maksudnya, perbanyaklah etika, hingga perbandingannya dengan perbuatanmu bagaikan perbandingan tepung dengan garam, atau beretika yang baik dibarengi amal perbuatan yang sedikit lebbih baik daripada kurang beretika, walupun banyak amal perbuatan.”[11]



[1] Siyar ‘A’lam An-Nubala’ (8/397)

[2] Muqaddimah Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab (1/31)

[3] Tadzkirah As-Sami’ wa al-Mutakallim (hal.2)

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Syiar A’lam An-Nubala’ (11/316)

[9] Ibid. (11/316)

[10] Ibid. (8/416)

[11] Al-Furuq (3/96) (4/272)

0 comments:

Post a Comment

 

SEPUTAR ISLAM Copyright © 2011 | Template design by O Pregador | Powered by Blogger Templates